Tuesday, March 22, 2011

Kolaborasi Plasa.com dan eBay Dorong Pertumbuhan E-commerce Indonesia

Sumber: Chip.co.id
CHIP Online Plasa.com dan eBay dorong pertumbuhan E-commerce di Indonesia

Jakarta, CHIP.co.id – Plasa.com mengumumkan kemitraannya dengan eBay yang dirancang untuk mendorong pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Diharapkan kemitraan ini dapat memberdayakan usaha Indonesia untuk menjual secara internasional. Kemitraan ini membuka peluang bagi bisnis lokal Indonesia untuk masuk dan lebih mampu bersaing di pasar global.

Indonesia mengalami pertumbuhan eksplosif dalam penetrasi internet dengan sekitar 45 juta pengguna pada tahun 2010, sedangkan di tahun sebelumnya hanya sekitar 1 juta pengguna. Diharapkan pada tahun 2015 pengguna internet di Indonesia akan mencapai 120 juta atau setengah dari penduduk nasional.

CHIP Online Plasa.com dan eBay dorong pertumbuhan E-commerce di Indonesia

Kemitraan Plasa.com ini merupakan langkah awal yang akan membantu bisnis di Indonesia dalam meningkatkan dan melaksanakan perdagangan lintas batas ke dalam model bisnis. Plasa.com merupakan toko online di Indonesia yang didirikan pada tahun 199 di bawah TELKOM yang diluncurkan melalui portal e-commerce pada 27 Mei 2010. Plasa.com memiliki sekitar 1.500 penjual dengan menampilkan lebih dari 20.000 produk dalam 16 kategori produk.

Sedangkan eBay yang didirikan pada tahun 1995 di San Jose oleh seorang programmer komputer yaitu Pierre Omidyar. Hingga saat ini eBay merupakan pasar online terbesar di dunia yang memiliki lebih dari 90 juta pembeli dan penjual aktif. Ebay hadir di 39 pasar global dengan memiliki pembeli di lebih dari 200 negara. Pendapat eBay pada tahun 2009 memperoleh laba bersih sebanyak $8,7 miliar.
Dengan keseluruhan perjalanan bisnis Plasa.com dan eBay, menjadikan lahirnya kemitraan ini yang akan lebih memberdayakan usaha indonesia dalam menjual produk-produknya di pasar internasional.

CHIP Online Plasa.com dan eBay Pembicara ShintaW. Dhanuwardoyo

Shinta Dhanuwardoyo selaku CEO Plasa.com, Mojopia mengatakan,”Melalui upaya bersama dengan eBay, kami berharap dapat mendorong penguasaha Indonesia untuk aktif berjualan secara online sehingga mempercepat pertumbuhan e-commerce di Indonesia.”

CHIP Online Plasa.com dan eBay Pembicara Andi S. Boediman

Andi S. Boediman selaku Chief Innovation Officer Plasa.com, Mojopia menjelaskan mengenai keberadaan Plasa.com yang merupakan anak perusahaan Telkom yang bergerak di bidang Content, Communication & E-Commerce.

CHIP Online Plasa.com dan eBay Pembicara

Pada kesempatan ini pula, selain Andi S. Boediman dan Shinta W. Dhanuwardoyo, hadir pula Rinaldi Firmansyah selaku Chief Executive Office PT. Telekomunikasi Indonesia, Tbk, Oliver Hua selaku Chief Operating Officer, Greater China, Southeast Asia and Japan, eBay Marketplace dan Jason Lee selaku Head Of Southeast Asia anda Middle East eBay Marketplaces.

Sunday, March 13, 2011

Avatar dan Emoticon, Sebuah Media Ekspresi

:) :p <3 adalah emoticon yang kini sudah demikian akrab melalui sentuhan jari di Blackberry Messenger. Beberapa kali dalam sehari kita melihat siapa yang berubah avatar. Gatal rasanya jika tidak memberikan komentar jika rekan kita merubah avatar menjadi sesuatu yang unik.

Konsep closure dari tulisan Scott McCloud di buku Understanding Comics menjelaskan apa itu closure, proses di mana dengan melihat sebagian, kita melihat secara keseluruhan. Semiotika bekerja dengan wacana yang sama, di mana dengan melihat kumpulan ekspresi emoticon di Blackberry, kita memahami rekan bicara kita di belahan lain sedang memiliki emosi apa ketika berkomunikasi.

Sekedar mengganti foto adalah hal yang sangat umum dilakukan oleh pengguna Blackberry, tetapi mereka yang kreatif menggunakan Blackberry sebagai sarana kampanye. Hal yang lumrah bagi banyak perusahaan kini menggunakan Blackberry untuk berhubungan dengan para pelanggannya.
Avatar tidak lagi menjadi foto dari pemilik BB, tetapi menjadi karakterisasi dari pemilik akun, bisa jadi sebuah toko, resto atau media. Logo dan maskot menjadi jamak mengisi avatar ini.

Bahkan ketika Twitter dan Blackberry menjadi media kampanye sosial, peran avatar menjadi penting. Kampanye Alanda Kariza untuk menyelamatkan ibunya yang dituduh sebagai salah satu orang yang terlibat dalam kasus Bank Century, sepenuhnya dilakukan melalui Twitter dan Blackberry. Dalam hitungan jam, pesan viral dari Alanda disuarakan oleh seluruh Twitterverse karena multiplikasi pesan ini. Sebagai simbol gerakan ini, avatar Alanda kini menggunakan foto ibunya dan Alanda ketika masih kecil.

Reduksi informasi menjadi pesan pendek seperti SMS, Twitter dan Blackberry mengembalikan kejayaan simbol sebagai media ekspresi yang paling cepat ditangkap.

ditulis untuk mata kuliah Creative Industry pada program pasca sarjana Creative & Media Enterprise di IDS|International Design School (www.idseducation.com)

Saturday, March 12, 2011

Bola – Hiburan Pemersatu Bangsa!

Kapankah kita mulai mencintai Batik kita sendiri? Ketika Malaysia mengklaim bahwa batik adalah warisan budaya milik mereka. Seketika itu, sentimen anti Malaysia dan cinta batik menjadi kepentingan nasional. 2 Oktober dinobatkan menjadi Hari Batik Nasional. Penjualan batik merebak dan hari Jumat menjadi kesempatan berbatik ria.

Belajar dari Korea Selatan, industri filmnya tumbuh pesat dan musik Korea sekarang merajai dunia pop. Belum lagi sinetron yang digemari oleh kalangan wanita. Kapan budaya pop Korea mampu menjadi tuan rumah? Ketika seluruh rakyat bangga akan karya mereka sendiri. Mengapa dan kapan hal ini mulai terjadi? Semuanya diawali dengan Olimpiade Seoul 1988. Di sini seluruh bangsa bersatu visi untuk menjadi negara Asia yang sarat prestasi.

Invictus, film arahan Clint Eastwood, bercerita tentang Afrika Selatan yang sebelumnya diporak porandakan oleh apartheid memerlukan satu momen yang mempersatukan mereka. Film yang diangkat dari buku Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game That Changed a Nation ini bercerita bahwa melalui Piala Dunia Rugby 1995, Nelson Mandela mendorong Francois Pienaar untuk membawa kemenangan bagi Afrika Selatan. Dengan memiliki satu visi dan satu momen akan tercipta satu kesempatan besar untuk mempersatukan bangsa.

Olah raga, khususnya bola, bagi masyarakat Indonesia bukanlah sekedar hiburan. Bola telah menjadi suatu ide dan gagasan atas identitas. Bola, sebagai suatu artefak, bukan saja menjadi bentuk bola yang bundar, tetapi mewakili kesatuan tim yang menjadi simbol kedaerahan yang diwakili oleh klub bola. Sebagai sebuah aktivitas, pertandingan bola menjadi ungkapan atas kebanggaan identitas kedaerahan dan menang kalah menjadi ekspresi kemenangan daerah.

Pertandingan AFF Suzuki Cup 2011 antara Indonesia dan Malaysia, memiliki peringkat tertinggi program RCTI sepanjang masa, mencapai 82% penonton di Indonesia  melihat program ini. Ini merupakan pemirsa terbesar yang pernah tercatat di pasar tunggal, dalam sejarah kompetisi. Siaran pertandingan Piala AFF dari Suzuki 2010 tetap antara program peringkat tertinggi di Indonesia.

"Selama AFF Suzuki Cup 2010, tidak hanya sejarah pengalaman kami yang dibuat dalam industri televisi Indonesia dengan program acara menjadi peringkat tertinggi di negara ini selama sepuluh tahun terakhir, tetapi kita juga melihat semangat bangsa terangkat. Acara ini merupakan topik nasional besar selama satu bulan beating semua masalah lain dan hype bahkan lebih besar dari setiap event Piala Dunia, " – Rudy Ramawy, Direktur Program dan Produksi RCTI.

Atribut yang digunakan, warna merah putih, sudah menjadi simbol kebangsaan. Warna ini menjadi suatu simbol/kode bahwa bola tidak lagi mewakili dunia hiburan, tetapi kebanggaan atas kebangsaan. Kehadiran di ruang stadion, mewakili kebersatuan. Duduk bersama dan mengajak sanak untuk menonton di depan TV, menjadi simbol kebersamaan. Kala itu, pertandingan bola menjadi suatu semangat untuk bersatu.

Dengan memiliki visi bersama untuk menjadi yang terbaik, menjadikan liga bola Indonesia menjadi liga profesional yang setara atau bahkan melebihi liga lain di Asia, Indonesia akan bangga bersanding dengan bangsa lain. Indonesia akan kembali bangga dengan dirinya sendiri, mencintai dirinya sendiri dan mencintai produk budaya sendiri. Bola adalah pemersatu bangsa!

Tayangan televisi membutuhkan bola sebagai bagian dari materi tayangan. Dengan mengurai bahwa bola bukanlah sekedar hiburan televisi, tetapi mewakili identitas kedaerahan dan kebangsaan, maka kampanye menonton bola kini menjadi ‘the batttle of identity.’ Sentimen ini membentuk pasar yang lebih luas dan umum digunakan oleh media untuk meningkatkan viewership dan rating. Dari sisi positif, cara ini terbukti efektif bagi Korea Selatan untuk memiliki kebanggaan atas konsumsi barang dan konten dalam negerinya. Jadi, saatnya bagi kita untuk mulai dengan diri kita sendiri.

ditulis untuk mata kuliah Creative Industry pada program pasca sarjana Creative & Media Enterprise di IDS|International Design School (www.idseducation.com)

Friday, March 11, 2011

Ketika Belanja Menjadi Simbol Status

Salah satu jurus retailer untuk menciptakan crowd dan hype untuk berbelanja adalah dengan Midnight Sale. Jalanan macet berat karena orang-orang mulai membanjiri mal sejak pukul 8. Proses memilih barang menjadi keasyikan tersendiri sebelum diskon mulai berlaku pada jam yang ditentukan.

Rangkaian panjang meliuk-liuk di beberapa lantai mal menunjukkan sepatu Crocs sedang sale. Begitu lama dan panjangnya proses antrian ini sehingga di akhir baris, mereka yang kehabisan terpaksa puas membeli pesona sandal dan sepatu karet dengan warna dan ukuran berbeda.

Pembukaan Ace Hardware terbesar di Living World mall, dibanjiri ribuan orang membeli segala macam perkakas dan peralatan rumah tangga yang kita tidak tahu tadinya bahwa kita membutuhkannya sampai kita datang dan melihatnya.

Ternyata harga masih selalu menjadi daya tarik agar kita datang untuk berbelanja. Tidak afdol rasanya jika ada tawaran barang yang demikian bagusnya dan kita tidak menjadi bagian dari konsumen yang memanfaatkan tawaran tersebut. Rasionalisasi berbelanja menjadi justifikasi bahwa barang yang kita beli mungkin akan kita gunakan nantinya. Ini adalah gaya hidup urban di mana terjadi penciptaan ‘false need’ melalui tawaran-tawaran menarik dan harga. Tawaran itu mengubah barang ‘keinginan’ seolah-olah menjadi ‘kebutuhan’

Warteg di dekat kantor saya, menampilkan Twitter yang berisi menu harian spesial karena kantor saya penuh dengan mereka yang bekerja di dunia dotcom. Pengusaha steak dan burger membangun follower Twitter dan menawarkan diskon bagi mereka yang membawa pesan singkat berisi penawaran khusus tersebut.

Tagging barang di Facebook dilakukan oleh para penjual kepada orang-orang yang berpotensi membeli barangnya. Hanya dengan berbekal koneksi Internet, proses belanja berlangsung melalui wall di Facebook, telepon dan proses transfer. Harga di bawah Rp 200.000 menjadi batas psikologis untuk berbelanja fashion tanpa mencobanya. Kalaupun barang yang diterima tidak memuaskan, apalah artinya dibanding proses mengasyikkan menanti barang diterima dan dicoba pertama kalinya. Jika memuaskan, tentu adalah saat yang tepat untuk berbelanja yang kedua kalinya.

Cottonink, brand fashion paling menjanjikan di Jakarta Fashion Week, bermodalkan desain simple dan warna-warni chic menawarkan bagaimana desain yang sederhana digunakan dalam berbagai kesempatan dengan beragam cara melalui video di Youtube. Desain kain persegi akhirnya memiliki ragam aplikasi yang tadinya tidak terpikirkan. Kebutuhan aksesoris fashion baur dengan penciptaan ‘desire’

Era produksi masal di mana barang yang dibeli berdasarkan kebutuhan sudah lewat. Kini konsumen memiliki banyak pilihan barang. Kini adalah era informasi di mana media sosial menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses berbelanja. Sangat tepat untuk menyampaikan berita dan cerita tentang barang yang dijual sebelum proses transaksi terjadi.

Saat ini konsumen adalah raja. Mereka yang menentukan pilihan. Tetapi definisi kebutuhan dan keinginan menjadi baur. Barang kebutuhan sumir dengan barang keinginan akibat tambahan nilai-nilai lain, seperti pengaruh media, pengaruh teman, permainan harga dan banyak lagi.

Di era konsumerisme, pembelian barang mendefinisikan gaya hidup konsumen itu sendiri. Bahkan pada status sosial tertentu di mana penghasilan tidak lagi menjadi masalah, kepemilikan atas barang dan eksklusivitas merk mendefinisikan status sosial si konsumen. Terjadi perubahan ‘ownership’ menjadi ‘identity.’ Itulah konsekuensi logis dari era konsumerisme.

ditulis untuk mata kuliah Creative Industry pada program pasca sarjana Creative & Media Enterprise di IDS|International Design School (www.idseducation.com)

Thursday, March 10, 2011

Java Jazz – Ketika Jazz menjadi Lifestyle dan Ekspresi Gaya Hidup


Berbondong-bondong ke Java Jazz lumrah bagi penduduk Jakarta. Ratusan ribu orang tumpah ruah melihat sajian festival Jazz yang digelar di JIE Kemayoran selama 3 hari ini. Mulai dari Santana hingga George Benson. Fariz RM melantunkan Sakura dan Barcelona, hit di akhir 80 an dihadiri ribuan orang yang asyik melantunkan lagu ini bersama. Java Jazz menghidupkan kembali genre musik yang tadinya hanya disematkan oleh sebagian orang sebagai musik para intelektual.

Perbedaan signifikan dengan Jakarta Jazz, pendahulu Java Jazz adalah jajaran musisi yang tampil dan bagaimana sajian festival ini dikemas. Di Jakarta Jazz, targetnya adalah pendengar jazz hard core, di mana semua line-up artis adalah mereka yang memang dikenal di dunia Jazz. Hanya mereka yang benar-benar musisi Jazz yang laik tampil di sini.

Di Java Jazz sangat liberal di dalam memilih jajaran artisnya. Pop kreatif  adalah sebutan bagi musik pop yang bernuansa jazz. Banyak artis Indonesia yang memiliki sentuhan musik pop kreatif mendapatkan panggung di mana mereka berjumpa dengan fansnya. Kahitna, Marcell, Fariz adalah contohnya. Pendatang baru seperti RAN, Pandji, Maliq & The Essentials pun berjaya tampil di panggung.

Jazz pun diterjemahkan secara bebas menjadi gaya hidup urban di mana genre musik ini mempersatukan para penduduk Jakarta untuk sekedar datang berkumpul bersama teman, makan-makan, berfoto dan sajian musik ringan. Jazz tidak lagi harus memiliki beban menjadi musik serius yang hanya bisa didengarkan oleh para pendengar Jazz sejati.

Mereka yang datang mengikuti konser Santana bahkan baru kenal siapa dia ketika mengikuti konser tersebut. Mereka yang datang melihat George Benson bertujuan untuk mengenang lagu nostalgia masa muda. Mereka yang bersantai melihat Fourplay mulai dari dewasa hingga anak-anak. Mereka yang mendengar New York Voices malah baru mengenalnya meskipun group ini sudah berusia 23 tahun. Mereka yang takjub mendengarkan Sandhy Sandoro juga baru tahu bahwa Indonesia memiliki musisi jazz handal dari negeri sendiri.

Ketika Jazz diterima sebagai lifestyle, tidak ada yang tabu bagi Jazz untuk dipahami ulang bahwa musik adalah untuk semua orang. Ajang ini menjadi kesempatan untuk bertemu, berkenalan dan belajar apa itu musik Jazz tanpa pretensi Jazz hanya untuk para intelektual. Java Jazz memperkenalkan musik Jazz untuk semua orang.

Dengan membuka Jazz ke pasar yang lebih besar, kini Java Jazz menghidupi ekosistem urban yang sarat dengan konsumerisme. Acara ini mampu memikat pelbagai kepentingan, mulai dari brand seperti Axis, BNI hingga penjaja makanan dan minuman sekelas Starbucks pun membuka stand kagetan di arena Java Jazz. Sebaliknya JakJazz yang berumur lebih panjang akhirnya menjadi kalah pamor karena tidak lagi mampu akrab dengan pasar yang lebih luas.

ditulis untuk mata kuliah Creative Industry pada program pasca sarjana Creative & Media Enterprise di IDS|International Design School (www.idseducation.com)

Sunday, March 06, 2011

Converting Network and Knowledge to Equity, a journey back to Entrepreneur

It's been a month since my last responsibility as an executive, now my schedule is even tighter than before. It's so refreshing to have a breathe of fresh air. To be able to make the decision to spend my time on. The biggest difference between an executive and entrepreneur is in the corporate world, security is the key how corporate retain its top executive. By providing salary and family support, it provides a safe environment.

In the entrepreneur world, the risk is always there, not to be able to provide yourself a sustainable income, to provide your family their needs or even to provide your company with enough revenue and then can't provide their salary. But this is the key why an entrepreneur works harder than the one in the corporate world.

In corporate world, your CV is your asset. It is better fill in with all the good one and avoid the failure. So, you can't do any mistake. That's why most of them will not risk to initiate any new things. They can't afford risk so to speak. Most people will choose working slower and assess all the risk before doing anything.

On the other hand, in an entrepreneur world, we are good if we make business. And it's ok to make mistake, especially if we start to do new business. Our most value is building our own equity and asset.

So, what do I get the most when working in a corporate world? The answer is the network and massive resources. It was a great experience to get to know some of the best company in the world. And by working with them side by side, I understand how they think, what they need and to establish a personal relationship with them. But most of this value is not going to sustain, people come and go, business is so dynamic and the ecosystem is always changing.

Now I put myself in the position as an enabler. So many company and people with different value need somebody else or some other company to partner with. By having all the network, now I have to convert all of those become a real equity, an ownership that will grow into new business.

Within just a month, I have worked with Jakarta Post, Kapanlagi.com, Bubu.com, Kompas.com and many others is in the pipeline. Not to mention some big corporate is looking for Indonesian partner and the other way around.

So, it's my time to convert my network and knowledge into a real equity. It's never a secure environment in the entrepreneur world, but surely it's challenging and will be rewarding!